Sabtu, 01 Juni 2013

Biografi Singkat Mbah Dalhar Magelang


Bagi masyarakat awam mungkin masih sangat asing dengan nama “Dalhar.” Namun hal itu mungkin tidak terjadi pada masyarakat Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Nama KH. Dalhar atau yang akrab disebut mbah Dalhar adalah nama yang tidak begitu asing bagi masyarakat perbatasan Jawa Tengah dan DIY tersebut. Mbah Dalhar adalah salah seorang ulama’ Desa Gunung Pring, Muntilan yang sedikit banyak ikut memperjuangan tegaknya Islam di tanah Jawa.
Mbah Dalhar lahir di komplek Pondok Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 12 Januari 1870 atau 10 Syawal 1286 H. Ketika lahir beliau diberi nama nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang da’i yang bernama Abdurrahman bin Abdurra’uf bin Hasan Tuqo.
Kiai Abdurra’uf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kiai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan “Raden Bagus Kemuning.”
Diceritakan bahwa
Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton Yogyakarta karena beliau memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan juga diketahui bahwa beliau hidup menyepi di daerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama Desa Tetuko. Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurra’uf juga mengikuti jejak sang ayah yaitu senang mempelajari ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan panglima untuk bersama memerangi penjajah Belanda, Abdurra’uf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari VOC. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya sangat strategis untuk penguasaan wilayah lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan orang-orang yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan semangat jihad di masyarakat. Melihat kelebihan yang dimiliki serta beratnya perjuangan waktu itu maka dipilihlah Abdurra’uf untuk diserahi tugas mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurra’uf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau kemudian mendirikan sebuah pesantren di sana.
Pesantren Kiai Abdurra’uf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara di tempat yang sekarang dikenal dengan Dukuh Santren. Lokasinya masih berada di desa Gunung Pring.
Ketika sudah dewasa, Nahrowi juga ikut meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser ke arah sebelah barat di tempat yang sekarang bernama Watu Congol.
Ta’lim dan rihlahnya
Mbah Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam lingkungan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kecilnya beliau belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu agama kepada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Dalhar mulai belajar di pesantren. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul-begitu sebutan masyhurnya- di Dukuh Bawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Di sini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih selama dua tahun.
Sesudah dari Salaman, saat itu berusia 15 tahun, mbah Dalhar dititipkan oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi, Somalangu, Kebumen. selama delapan tahun beliau diasuh oleh Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang memiliki julukan Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh.
Sekitar tahun 1896 (tahun 1314H), mbah Dalhar diminta oleh gurunya untuk menemani putera tertuanya, yaitu Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani belajar ke Makkah. Putra gurunya itu belajar kepada mufti syafi’iyah, Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani).
Perjalanan ke tanah suci waktu itu menggunakan kapal laut. Beliau berdua berangkat melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian sampai di Semarang, saking ta’dzimnya, mbah Dalhar kepada putera gurunya itu, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan santri ayahnya itu agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Dalhar.
Sesampainya di Makkah, mbah Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani di daerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam perjalanan ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama tiga bulan karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama setempat untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Dalhar tetap belajar di Tanah Suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Di mana Nahrowi adalah nama asli beliau, dan Dalhar adalah nama yang diberikan oleh gurunya itu. Dalam perjalanan selanjutnya, nama mbah “dalhar” ini lebih masyhur daripada nama lengkap beliau, yaitu Nahrowi Dalhar.
Ketika berada di Makkah inilah mbah Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Di mana kedua ijazah ini di kemudian hari menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di pulau Jawa.
Riyadhah dan amaliahnya
Mbah Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidir As. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidir karena begitu dekatnya dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah SWT ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di Tanah Suci, mbah Dalhar pernah melakukan khalwat selama tiga tahun di suatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan tiga buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhah-nya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama di tanah suci, mbah Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk membuatng hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini, mbah Dalhar dapat mencapai tiga hari tiga malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut KH Ahmad Abdul Haq, salah seorang putra Mbah Dalhar, beliau mbah Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada tiga orang, yaitu kiai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan putranya sendiri, KH Ahmad Abdul Haq.
Meninggalkan tidur malam (Sahrallayal) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Sebagai seorang auliyaillah, mbah Dalhar mempunyai banyak karamah. Dua keistimewaan yang dimiliki antara lain, suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara dan mengetahui makam–makam kekasih Allah (auliyaillah) yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar di mana beliau–beliau tersebut pernah bertempat tinggal.
Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Di mana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Murid – muridnya
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920–1959. Di antaranya adalah Gus Miek, KH. Mahrus (Lirboyo), KH Dimyathi (Banten), KH Marzuki (Giriloyo), dan masih banyak lainnya.
Gus Miek datang ke Watucongol sekitar tahun 1954. Gus Miek tidak langsung mendaftarkan diri menjadi santri, tetapi hanya memancing di kolam pondok yang dijadikan tempat pemandian. Hal itu sering dilakukannya pada setiap datang di Watucongol kebiasaannya memancing tanpa memakai umpan, terutama di kolam tempat para santri mandi dan mencuci pakaian membuat Gus Miek terlihat seperti orang gila bagi orang yang belum mengenalnya. Setelah beberapa bulan dengan hanya datang dan memancing di kolam pemandian, ia lalu menemui mbah Dalhar dan meminta izin untuk belajar.
Singkat cerita, mbah Dalhar akhirnya mau menerima Gus Miek sebagai muridnya, khusus untuk belajar Al Qur’an. Akan tetapi, Gus Miek tidak hanya sampai di situ saja, ia berulang kali juga meminta berbagai ijazah (verifikasi) amalan untuk menggapai cita-cita, tanggung jawab, dan ketenangan hidupnya. Seolah ingin menguras habis semua ilmu yang ada pada mbah Dalhar, terutama dalam hal kapasitasnya sebagai seorang wali, mursyid tarekat, dan pengajar Al Qur’an. Gus Miek juga seolah ingin mempelajari bagaimana seharusnya menjadi seorang wali, apa saja yang harus dipenuhi sebagai seorang mursyid, dan seorang pengajar Al Qur’an.
Setiap kali Gus Miek meminta tambahan ilmu, mbah Dalhar selalu menyuruhnya membaca Al Fatihah. Apa pun bentuk permintaan Gus Miek, gurunya itu menyuruhnya untuk mengamalkan Al Fatihah.
Mbah Dalhar, bagi Gus Miek, adalah satu-satunya orang yang dianggap sebagai guru dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selama berada di Watucongol, Gus Miek dengan telaten selalu membersihkan terompah (sandal) dan menatanya agar lebih mudah dipakai ketika mbah Dalhar pergi ke masjid. Menurut Gus Miek, hal itu dilakukan sebagai upayanya untuk belajar istiqamah (konsisten). Sebab istiqamah, menurut ajaran KH. Djazuli, ayahnya, adalah lebih utama dari 1000 karomah.
Kegiatan Gus Miek di pesantren Watucongol selain mengaji Al Qur’an, juga sering bepergian ke pasar-pasr, tempat hiburan, dan mengadu ayam jago. Kebiasaan ini membuat Gus Miek sering berhadapan dengan Gus Mad, putra mbah Dalhar, yang itu memegang tanggung jawab sebagai keamanan pondok.
Pernah Gus Miek menyuruh beberapa gus di Kediri agar segera belajar di tempat mbah Dalhar karena beliau akan meninggal. Semua berbondong ke tempat mbah Dalhar. Saat itu, Gus Miek menyatakan bahwa gurunya itu akan meninggal sekitar tanggal 23 Ramadhan 1959. Tapi begitu semua datang ke Watucongol, ternyata mbah. Dalhar masih sehat. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih tiga tahun, Mbah Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1378 H atau bertepatan dengan 8 April 1959 M.
*Sumber tulisan ini dari salah seorang keturunan Mbah dalhar yang bernama Fulan binti Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan saran atau ilmu yang antum ketahui agar lebih bermanfaat...